Rabu, 15 September 2010

Dari Sawah menuju Panggung Gemerlap : 4

Berubah Demi Mempertahankan

Bagi sebagian orang sekarang ini disebut zaman modern jika dibandingkan dengan beberapa dekade kebelakang. Manusia telah mengecap dirinya sebagai manusia yang modern tanpa tahu modernitas seperti apa yang ada disekitarnya.

Akibat gerusan modernisasi dan westernisasi yang terjadi di Indonesia, musik bambu perlahan mulai redup dan ditinggalkan terlebih lagi dalam format musik bambu tradisional daerah. Melihat realitas lupanya masyarakat akan musik bambu tradisional yang dimiliki membuat segelintir masyarakat yang masih peduli mencari cara agar musik bambu kembali hadir ditengah masyarakat yang serba modern ini.

Pencampuran musik bambu tradisional dengan elemen musik dari luar menjadi salah satu jalan yang ditempuh oleh mereka. Jalan itulah yang memunculkan deretan kelompok musik yang disebutkan diatas.

Kecemasan akan berubahnya format musik bambu yang nantinya akan dikenal masyarakat menjadi pernyataan negatif yang berkembang sejak lama didalam lingkup seniman kontemporer tersebut.

Franki Raden sebagai seorang etnomusikolog menjelaskan bahwa pemikiran seperti itu adalah pemikiran yang sempit dan justru seharusnya musik tradisional daerah termasuk musik bambu Sunda bergerak mengikuti perubahan yang ada tanpa meninggalkan esensi yang dikandungnya.

Pernyataan etnomusikolog yang memperoleh gelar doktor dari sebuah universitas di Amerika Serikat ini seolah menegaskan bahwa perubahan yang terjadi dalam suatu masyarakat adalah hal yang yang memang seharusnya terjadi. Ia pun menambahkan bahwa yang dapat melakukan perubahan tersebut adalah manusia-manusia yang ada di dalam lingkungan dimana musik itu berkembang (local genius).

Pernyataan serupa juga dilontarkan oleh Ismet Ruchimat, S.Sn, M.Hum, Staff pengajar Jurusan karawitan STSI Bandung. “Kekhawatiran tersebut sebenarnya tidak harus ada selama masih ada yang mengebadi kepada seni tradisi terlepas dari seni itu sebagai suatu hiburan ataupun ritual. Tradisi itu berkembang dan berjalan beriringan dengan manusia. Kata tradisi yang ada dibenak manusia kebanyakan adalah tradisi yang lampau, yang konservatif dan sudah perlu di konservasi”.

Cara mempertahankan musik bambu yang dilakukan oleh kelompok-kelompok musik seperti Galengan, Samba Sunda dan lainnya ini merupakan pengenalan kembali musik bambu kepada masyarakat melalui media yang beragam.

Upaya-upaya yang dilakukan oleh para seniman ini seolah-olah mengetuk kesadaran masyarakat akan musik bambu Sunda “lewat pintu belakang”. Masyarakat tidak dihadapkan pada alunan musik Sunda buhun tapi secara tidak sadar mereka diperkenalkan dengan suara-suara musik bambu lewat lagu-lagu yang lebih populer.

Awalnya masyarakat mungkin hanya akan terkejut dengan kemampuan musik bambu yang bergabung dengan jenis musik lainnya. Setelah melewati tahap ini maka masyarakat pun akan berlanjut ke tahap mencari informasi lebih tentang musik bambu tersebut hingga nantinya ia akan mencoba terjun langsung pada musik tersebut.

Kesuksesan menyisipkan musik bambu ditengah-tengah jenis musik lain terbukti telah mampu mengembalikan nyawa musik bambu itu sendiri. Kini sedikit demi sedikit anak muda khususnya di Kota Bandung mulai banyak yang dengan bangga membawa alat-alat musik bambu dalam kegiatannya sehari-hari. Misalnya saat ke kampus hingga berkumpul bersama teman-teman seperti yang dilakukan di Ruang Terbuka Publik Common Room yang terletak di Jl. Kyai Gede Utama No.8, Bandung Ini.

Sisi akademis pun ikut tersentuh. Mulai banyak anak-anak muda yang tertarik secara mendalam mengenai musik tradisional. Seperti yang terjadi di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, sekolah tinggi ini pernah hingga kewalahan menerima calon mahasiswa yang ingin menimba ilmu mengenai seni musik (karawitan).

Selain pesona musik bambu itu sendiri, kesuksesan-kesuksesan yang ditorehkan oleh kelompok-kelompok musik yang mencoba membangkitkan kembali musik bambu ini secara tidak langsung menggiring para pemusik tradisional untuk membuat musik mereka lebih modern dan membuat para musisi mainstream memasukan unsur etnik kedalam musik mereka.

Contoh kesuksesan kelompok kolaborasi musik bambu adalah saat kelompok musik Punklung dengan percaya diri tampil membawakan musik mereka di depan para pejabat negara seperti jajaran pemerintah provinsi hingga mantan wakil presiden, Jusuf Kalla.

Contoh lainnya adalah saat Sambasunda menggoyang Queen Elisabeth Hall, London. Kelompok musik yang salah satu albumnya bertajuk “We Play, We Live, We Eat With Bamboo” ini harus menunggu lima tahun untuk membuat suguhan World Music dengan memasukan unsur masuk bambu Sunda didepan khalayak negeri Pangeran Williams tersebut.

Kini, musik bambu tak hanya menjadi musik yang dimainkan di sawah atau di desa. Beragam acara dan gelaran telah dilangsungkan untuk mengangkat eksistensinya. Mulai dari sekedar pengisi hiburan di pusat perbelanjaan hingga gelaran khusus bernama Festival Bambu Nusantara menjadikan musik bambu Sunda hadir kembali di tengah-tengah masyarakat secara luas.

(Tamat.)

Sumber : dari berbagai sumber (sabar ya, nanti saya kasih tau tapi kalau semua udah selesai...)

*) Tulisan ini merupakan satu dari empat yang membentuk sebuah tema besar bertajuk "Menduniakan Musik Bambu Sunda". Tulisan berjudul "Dari Sawah Menuju Panggung Gemerlap" ini saya bagi menjadi 3 Sub-bagian yaitu : (1) Bambu di Sawah, (2) Bergeser, (3) Dari Tarling hingga World Music (4) Berubah Demi Mempertahankan