Bambu di Sawah
Bambu merupakan elemen yang sering hadir dalam kehidupan masyarakat. Bambu hadir dalam berbagai bentuk mulai dari alat rumah tangga hingga alat musik. Bambu hadir di berbagai kegiatan manusia mulai dari keseharian hingga kegiatan ritual.
Bambu sebagai alat musik sudah ada sejak lebih dari tiga ratus tahun yang lalu sejak nada belum ditemukan. Salah satu embrio alat musik bambu adalah Karinding yang sempat dianggap telah hilang dari muka bumi ini.
Ada berbagai cerita tentang penggunaan Karinding. Yang paling banyak beredar adalah musik Karinding sebagai media penyampai perasaan (hubungan pria-wanita) dan Karinding sebagai “teman” petani mengusir hama.
Kehidupan lainnya tentang keberadaan bambu dalam tatanan pertanian, bahwa dikala padi sedang menguning muda-mudi seharian berada disawah untuk menghalau burung dengan menggunakan Kokoprak yang terbuat dari bambu.
Ujung tali Kokoprak diikatkan pada tiang anggon (dangau). Untuk lebih meramaikan ada pula Sondari yaitu batang bambu yang ditanamkan ketanah dengan ujung atas dibuat lubang, bila angin melewati lubang tersebut maka akan menimbulkan suara. (Abun Somawijaya Dkk: Khasanah Musik Bambu)
Alat-alat musik Sunda pertama kali dibuat dengan media bambu dan tanpa nada. Alat musik tersebut berkembang menjadi alat musik baru yang akhirnya mempunyai nada dalam tataran pentatonik lokal yang di tatar Sunda biasa disebut Salendro (da-mi-na-ti-la).
Calung adalah salah satu alat musik yang berkembang. Calung merupakan embrio dari Angklung. Terdiri dari tabung-tabung ruas bambu yang disusun menurut tangga nada Salendro. Meskipun ini adalah prototype dari Angklung, Calung dimainkan dengan cara dipukul bukan digoyang seperti “adiknya”.
Alat-alat musik Sunda kuno biasanya mempunyai kegunaan awal yang berkaitan dengan kegiatan manusia baik kegiatan sehari-hari maupun kegiatan spiritual keagamaan dan kepercayaan.
Upacara-upacara pengagungan terhadap Dewi Sri atau Nyi Pohaci merupakan upacara yang biasanya diiringi oleh musik bambu. Calung Rantay Banjaran, Calung Tarawangsa, Angklung Buhun Baduy merupakan sedikit dari sekian banyak musik bambu yang dipakai dalam upacara ritual.
Upacara ritual yang dilakukan masyarakat buhun biasanya terdiri dari
beberapa urutan dimulai dari Nurunkeun Binih (mengeluarkan padi), Ngarak Binih (mengantar benih), Ngaseuk (upacara penanaman padi) hingga panen. Walaupun dibeberapa daerah mempunyai nama yang berbeda namun umumnya upacara yang berlangsung tidak terlalu berbeda.
Kini seiring perubahan zaman banyak fungsi musik bambu yang sudah tidak digunakan lagi karena bergesernya tradisi yang berkembang dimasyarakat sehingga peran musik bambu pun bergeser menjadi sebuah gelaran hiburan.
Salah satu daerah yang masih berusaha mempertahankan angklung sebagai alat ritual adalah desa adat Cisungsang yang terletak di Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi. Angklung Buhun digunakan mengiringi perjalanan padi dari sawah hingga ke leuit (lumbung).
(Bersambung... Bergeser)
Sumber : akan saya link nanti :D
Foto : datasunda, dok.pribadi
*) Tulisan ini merupakan satu dari empat yang membentuk sebuah tema besar bertajuk "Menduniakan Musik Bambu Sunda". Tulisan berjudul "Dari Sawah Menuju Panggung Gemerlap" ini saya bagi menjadi 3 Sub-bagian yaitu : (1) Bambu di Sawah, (2) Bergeser, (3) Dari Tarling hingga World Music, (4) berubah Demi Mempertahankan