Bergeser
Penggunaan musik bambu pada beberapa abad yang lalu memang terkesan sederhana. Musik bambu dipakai dalam kehidupan sehari-hari mereka, dari media merayu, pengusir hama hingga naik statusnya menjadi musik pengiring ritual kepercayaan.
Saat posisinya sederhana, musik bambu memang belum teratur pada nada-nada seperti sekarang ini. Alat musik bambu hanya mengeluarkan suara-suara absurd yang dapat menarik perhatian atau malah mengganggu.
Pada perkembangan selanjutnya musik bambu “naik kasta” sebagai sebuah musik pengiring ritual kepercayaan. Pada fase ini musik bambu sudah mengenal nada-nada sederhana dengan ketukan yang jelas.
Dalam perkembangannya sebagai musik yang sakral, musik bambu dimainkan dengan
mengkolaborasikan alat musik “purba” tanpa nada dan alat musik yang sudah bernada lokal. Musik bambu dalam cakupan ritual tidak dapat dimainkan oleh semua orang di sembarang waktu. Terdapat tatacara khusus dalam memainkannya hal ini terkait dengan fungsinya.
Perkembangan terus berlanjut hingga musik bambu dijadikan suatu hiburan yang dapat dinikmati oleh masyarakat atau yang nantinya disebut dengan seni tradisi. Pada masa ini tercipta pula aturan berlaku dalam memainkan musik bambu di masyarakat atau yang dikenal dengan istilah pakem.
Secara rasional timbulnya aturan-aturan dalam seni tradisi dipengaruhi oleh dua hal. Pertama, karena benar-benar merupakan titik puncak garapan yang mantap pada waktu itu. Sedangkan yang kedua karena dipengaruhi situasi “kraton-sentris” (Johanes Mardimin: Jangan Tangisi Tradisi).
Dari pernyataan Mardimin dapat dilihat bahawa pakem yang ada merupakan permainan (yang dianggap) terbaik saat musik tersebut tengah hadir di masyarakat dan disetujui oleh yang berkuasa (kraton) ditempat ia berkembang.
Pada saat ini musik bambu masih menjadi sarana hiburan dan di beberapa daerah masih pula
digunakan untuk pengiring upacara ritual. Dalam dunia hiburan pakem-pakem musik bambu perlahan-lahan mulai bergeser bahkan tidak jarang seniman yang berkarya keluar dari pakem yang ada setelah perpuluh-puluh tahun. Mereka mencampurkan tradisi yang telah ada berabad-abad dengan unsur baru yang masuk dari mancanegara.
Sebagai bagian dari suatu budaya dan tradisi mayarakat, musik bambu ikut bergeser dengan perkembangan masyarakat yang ada. Mulai keluarnya para seniman dari pakem-pakem yang telah ada menandakan tradisi juga bergerak.
Prof. Dr, Raden Franki. S. Notosoedirdjo, atau yang lebih dikenal dengan Franki Raden ini mengatakan bahwa seni dan budaya bukanlah “barang” yang mati. Dia bergerak dipengaruhi banyak faktor yaitu politik, ekonomi, teknologi dan banyak lainnya seperti manusia berkembang dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut.
Pernyataan Guru Besar Institut Kesenian Jakarta tersebut menegaskan bahwa seni dan budaya berkembang dan hidup beriringan dengan manusia begitu juga dengan musik bambu. Jika dikaitkan dengan pakem yang telah ada maka dengan seiring perubahannya akan ada pakem yang berubah dan menjelema menjadi pakem baru kerena faktor manusianya.
(bersambung... Dari Tarling hingga World Music)
Sumber : nantikan di akhir kumpulan tulisan ini...
*) Tulisan ini merupakan satu dari empat yang membentuk sebuah tema besar bertajuk "Menduniakan Musik Bambu Sunda". Tulisan berjudul "Dari Sawah Menuju Panggung Gemerlap" ini saya bagi menjadi 3 Sub-bagian yaitu : (1) Bambu di Sawah, (2) Bergeser, (3) Dari Tarling hingga World Music (4) Berubah Demi Mempertahankan