Suatu hari diawal tahun 1839, seorang pemuda Belanda berusia 18 tahun menjejakan kakinya di
Didaerah Lain Lebih Buruk Lagi.
Tugas berat terletak di pundaknya setelah percakapan dengan gubernur jendral Duymaer Van Twist yang berujung pada penunjukan dirinya sebagai asisten Residen Lebak. Di ujung Banten ini keadaan penduduknya selalu dianggap “jauh dari memuaskan”. Daerah ini sebenarnya berada diluar peraturan cultuurstelsel yang sedang digalakan di HIndia Belanda waktu itu.
Kerja Rodi, Herendienst (kerja Paksa), pajak tinggi, permapasan serta penganiayaan seolah menjadi hal yang lumrah di daerah ini. Ironisnya para pembesar pribumilah yang memperbuas keadaan dan dibalik ini semua.
Dibawah sumpah, ia mempuanyai dua misi yaitu meringankan beban rakyat dan tetap menjunjung tinggi kewibawaan Kerajaan Belanda di tanah ini. Tak mudah jalan Dekker untuk meloloskan niatan pertamanya. Brest Van Kempen yang menjadi atasannya selalu memberikan alasan bahwa di “daerah lain keadaan lebih buruk lagi” saat Dekker mengadu tentang daerah yang hingga kini masih masuk daftar sebagai daerah yang terbelakang di provinsi Banten itu.
Raden Dipati Kerta Natanegara dan menantunya, Raden Wiranatakusumah selaku Bupati Lebak dan Demang Parungkujang menjadi sasaran kecurigaannya atas kesemena-menaan
yang terjadi disini.
Atas
Satu Jiwa Tiga Tokoh
Hati saya pedih sekali mendengar keluhan tentang penyiksaan pemerasan, kemelaratan, kelaparat – sedang saya sendiri sekarang ini dengan isteri dan anak juga menghadapi lapar dan kemelaratan.
Penggalan diatas merupakan penggalan dari
Tanpa pekerjaan ia kembali ke tanah Eropa, disinilah ia menuangkan seluruh isi kepala dan hatinya mengenai kabupaten miskin itu. Selama 3 minggu, di sebuah losmen murahan di Brussel Belgia, Dekker berkutat dengan lebih dari 300 halaman buku yang ditulisanya. Buku itu kemudian diberi judul Max Havelaar dengan nama pena Multatuli yang berati “yang menderita”.
Tokoh Havelaar dalam buku itu adalah gambaran dari dirinya sendiri saat menjabat sebagai asisten residen lebak. Semuanya ia tuangkan dalam buku itu tanpa ada halangan dari siapa pun bahkan Van Twist sekalipun.
Di negeri Belanda, akhirnya nama Havellar seakan membawa jeritan yang menuntut kesadaran banyak pihak. Namun sayangnya pada usainya yang ke-67 ia meninggalkan dunia ini, masih dengan segala kemelaratannya tanpa sempat melihat orang-orang yang bergerak karena mendengar jeritannya.
Sumber : Multatuli (2005) Karangan Drs Moechtar