Minggu, 11 Juli 2010

Dekker : Pahlawan Gegabah dari Lebak

Suatu hari diawal tahun 1839, seorang pemuda Belanda berusia 18 tahun menjejakan kakinya di Batavia, disinilah ia mendapatkan pekerjaan pertamanya sebagai klerk (juru ketik). Tujuh belas tahun berlalu, klerk muda yang dulu di Batavia kini sudah bertransformasi menjadi asisten residen sebuah kabupaten kecil bernama Lebak. Ini adalah kali kedelapan ia berpindah kota demi tugasnya pada pemerintah kolonial namun dikota inilah ia pertama kali melihat kehidupan yang akan mengubahnya hingga akhir hayatnya.

Didaerah Lain Lebih Buruk Lagi.

Tugas berat terletak di pundaknya setelah percakapan dengan gubernur jendral Duymaer Van Twist yang berujung pada penunjukan dirinya sebagai asisten Residen Lebak. Di ujung Banten ini keadaan penduduknya selalu dianggap “jauh dari memuaskan”. Daerah ini sebenarnya berada diluar peraturan cultuurstelsel yang sedang digalakan di HIndia Belanda waktu itu.

Kerja Rodi, Herendienst (kerja Paksa), pajak tinggi, permapasan serta penganiayaan seolah menjadi hal yang lumrah di daerah ini. Ironisnya para pembesar pribumilah yang memperbuas keadaan dan dibalik ini semua.

Dibawah sumpah, ia mempuanyai dua misi yaitu meringankan beban rakyat dan tetap menjunjung tinggi kewibawaan Kerajaan Belanda di tanah ini. Tak mudah jalan Dekker untuk meloloskan niatan pertamanya. Brest Van Kempen yang menjadi atasannya selalu memberikan alasan bahwa di “daerah lain keadaan lebih buruk lagi” saat Dekker mengadu tentang daerah yang hingga kini masih masuk daftar sebagai daerah yang terbelakang di provinsi Banten itu.

Raden Dipati Kerta Natanegara dan menantunya, Raden Wiranatakusumah selaku Bupati Lebak dan Demang Parungkujang menjadi sasaran kecurigaannya atas kesemena-menaan

yang terjadi disini. Surat pengaduan mengenai bupati dan sang demang yang dilayangkannya pada gubernur jendral ternyata justru malah memicu pertentangan antara dirinya dan Van Kempen yang saat itu menjabat sebagai Residen Banten.

Atas surat aduannya tersebut Dekker di cap sebagai orang yang gegabah. Tak hanya itu ia pun diberhentikan dari jabatan yang baru 3 bulan dipangkunya dan dipindahkan dengan jabatan yang lebih rendah. Tidak puas dengan putusan tersebut Dekker memilih keluar dari semua pekerjaannya.

Satu Jiwa Tiga Tokoh

Hati saya pedih sekali mendengar keluhan tentang penyiksaan pemerasan, kemelaratan, kelaparat – sedang saya sendiri sekarang ini dengan isteri dan anak juga menghadapi lapar dan kemelaratan.


Penggalan diatas merupakan penggalan dari surat Dekker yang dikirimnya pada Kontrolir Lebak, 11 hari setelah ia meletakan jabatannya. Ditengah ketidakberdayaannya ia masih mau menerima keluhan-keluhan dari kaum pribumi yang tertindas.

Tanpa pekerjaan ia kembali ke tanah Eropa, disinilah ia menuangkan seluruh isi kepala dan hatinya mengenai kabupaten miskin itu. Selama 3 minggu, di sebuah losmen murahan di Brussel Belgia, Dekker berkutat dengan lebih dari 300 halaman buku yang ditulisanya. Buku itu kemudian diberi judul Max Havelaar dengan nama pena Multatuli yang berati “yang menderita”.

Tokoh Havelaar dalam buku itu adalah gambaran dari dirinya sendiri saat menjabat sebagai asisten residen lebak. Semuanya ia tuangkan dalam buku itu tanpa ada halangan dari siapa pun bahkan Van Twist sekalipun.

Di negeri Belanda, akhirnya nama Havellar seakan membawa jeritan yang menuntut kesadaran banyak pihak. Namun sayangnya pada usainya yang ke-67 ia meninggalkan dunia ini, masih dengan segala kemelaratannya tanpa sempat melihat orang-orang yang bergerak karena mendengar jeritannya.

Sumber : Multatuli (2005) Karangan Drs Moechtar