Jumat, 12 September 2014

Sebuah catatan seorang kawan : Untuk Rully yang Kini Terlelap



Tidur lah dengan lelap dalam tenang mu, biarkan kenangan mu selalu ada bersama kami disini

"pokonya gue maunya lifebuoy!"
itu lah kalimat pertama yang saya ingat saat pertama kali bertemu pria bertubuh tambun itu. Kala itu saya "menyeburkan" diri menjadi relawan dari antah berantah saat kejadian Situ Gintung.

Sabun lifebuoy, shampo pentene dan rokok djarum super tiga hal yang saya ingat darinya.

Kesan pertama? tentu saya sebal setengah mati pada orang itu, rasanya ingin ngempesin saat itu juga. Tapi siapa sangka dari ke SKSD-an saya dan (ternyata) ramahnya orang itu saya perlahan mulai "terjebak" dilingkarannya.

Ya, pria tambun yang (awalnya) menyebalkan itu adalah kawan yang kemudian saya kenal sebagai Rully. Memang tak banyak cerita manis tentang rully dan saya karena memang kami tak banyak bersinggungan tapi yang saya tau dia adalah kawan yang baik, buktinya dia bisa menerima saya yang agak absurd ini sebagai salah satu kawannya.

Ada yang lucu diantara pertemanan kami, dan mungkin itulah salah satu yang membuat kami semakin dekat. MUSIK! tak sangka ternyata Rully yang tadinya saya kira kaku ternyata adalah seorang musisi bahkan dulunya dia menggeluti musik Ska yang juga menjadi kegemaran saya. Seingat saya dari situ juga lah banyak obrolan yang terciptakan diantara kami.

Rully yang saya kenal adalah seorang kawan yang tak banyak bicara, dia lebih memilih langsung beraksi dan mengerjakan semuanya sendiri. Dia pun tak pernah mempermasalahkan siapa saya yang tetiba masuk kedalam lingkarannya padahal saya tau dia adalah orang yang begitu peka pada organisasinya.

Oh iya, usia saya dan Rully sebenarnya terpaut sangat jauh, didalam organisasi pun  dia lebih sering dipanggil "Kak" dan dia tak pernah mempermasalahkan kala saya selalu memanggilnya dengan sebutan nama, mungkin itu lah yang membuat saya merasa dia adalah kawan tanpa sekat dan embel-embel organisasi apapun.

Pernah suatu saat saya dan dia dihadapkan pada masalah yang sama ; penyelesaian studi akademis kami. Setiap bertemu kami selalu membahas masalah yang ada didepan mata kami, saling mengingatkan akan tenggat waktu, saling menyemangati bahkan kadang saling mengejek dan justru saling bersendagurau tentang urusan akademis hingga akhirnya saya membajak dan menyiksa perangkat kerjanya untuk mencetak tugas akhir saya, dan dia? tentunya lebih memilih tidur dengan pulas di ruangannya dan kadang terusik dengan langkah saya yang cukup berisik.

Ada dua gaya yang saya ingat saat tertidur ; terlentang atau tidur sambil terduduk. Posisi tidurnya yang terlentang kadang kami jadikan bercandaan sabagai "paus terdampar", maklum saja perut gendutnya mencuat begitu saja saat ia tertidur. Saat dia tertidur dengan posisi terduduk sedih rasanya karena saya tau tak ada style lain yang bisa dilakukan. eungap rasanya...

Kini, dia sudah tertidur selamanya tanpa perlu memikirkan posisi dan tanpa saya harus khawatir dengan posisi tidur terduduknya. Ya, Rully sudah tertidur meninggalkan banyak kawan yang mencintainya, meninggalkan semua kenangan yang melekat pada kawan-kawan, meninggalkan ilmu pada adik-adik didik dan tentunya meninggalkan cerita untuk saya.

Masih ada di timeline chat whatsapp saat saya menanyakan nomor ponsel Rully ke beberapa kawan karena seorang kawan wartawan membutuhkan responden yang mau bercerita tentang sulitnya mendapatkan donor/ darah. Ya, saya pun baru tau beberapa bulan lalu jika kawan saya yang satu ini ternyata harus terkapar dirumah sakit karena penyakitnya. Sel-sel kanker mampir ke tubuhnya dan kemoterapi pun sedikit demi sedikit ikut memapas tubuh gempalnya, itu lah yang sempat ia ceritakan berbulan-bulan yang lalu saat terakhir kali saya bersua dengan nya.

Tidak, saya yakin dia tidak menyerah pada kondisinya. Mungkin memang dia lelah tapi dia adalah pejuang sejati. Dia tidak kalah dari penyakit yang merongrong tubuhnya tapi justru dia memenangkan pertarungan ini, memenangkan pertarungan hidupnya dan menang meninggalkan mereka yang kini tak bisa lagi menggangu tubuhnya.

Kini, saya hanya bisa melihat kontak ponselnya tanpa sempat menghubunginya. Tanpa sempat saya menjenguknya, tanpa sempat saya memberikan semangat dan candaan baginya. Ah, kini saya hanya bisa berdoa untuknya, sama seperti yang saya lakukan untuk kesembuhannya. Bedanya, ini bukan untuk kesembuhannya tapi untuk dirinya seutuhnya. Untuk dia yang sudah terlepas dari sel-sel kanker yang menggerogotinya, untuk dia yang sudah lepas dari segala macam tekanan terapi yang harus dilaluinya, untuk dia yang kini sudah tak perlu mengonsumsi obat-obatan.. ya untuknya yang telah meninggalkan kami...

Tidur lah yang lelap, tidur lah tanpa rasa sakit, tidur lah dengan meninggalkan semua kenangan yang ada pada kami disini.. tidurlah hingga nanti kita akan bertemu lagi disuatu saat dimana kita tak saling menghiraukan.

Rumah, 12 September 2014