Jumat, 25 Juni 2010

Serial Lupus, Remaja dan Bahasa

Soalnya kita masih remaja. Masih ingin bebas. Jiwa Hura-hura kita kan lebih besar daripada jiwa romantisme kita
-Lupus saat menunggu bis dalam "Makluk Manis Dalam Bis"-


Sekarang didepan saya ada sebuah buku yang sedikit lebih muda daripada saya, sebuah buku cetakan tahun 1991 yang kertasnya sudah menguning, ini bukan buku teori, bukan buku sejarah bukan juga buku-buku kajian.

Bundelan kertas setebal 126 halaman berdimensi sekitar 18 x sekian senti ini membawa saya pada kehidupan anak muda hampir dua puluh tahun yang lalu lewat tokoh-tokoh yang ada didalamnya. Lupus : Makhluk Manis di Dalam Bis (cetakan1 : 1989), itulah judul buku yang saya dapatkan dari sebuah toko buku bekas di dakat rumah.

Lupus, Gusur, Boim, Lulu, Popi dan sederet tokoh lain yang ada didalamnya mungkin adalah gambaran kehidupan anak muda (khususnya SMA) pada zaman itu. Meskipun tak jarang si penulisnya mencantumkan beberapa nama yang memang ada didalam dunia nyata seperti Arswendo sebagai pemred dan Mas Wedha sebagai ilustrator alias tukang gambar di Majalah Hai. untuk contoh dua nama yang terakhir percayalah kalau mereka memang nyata dengan jabatan mereka...

Ada yang hal yang cukup membuat saya tersenyum saat membaca buku ini (selain karena joke-joke aneh yang ada) yaitu "side job" lupus yang ternyata adalah seorang wartawan freelance di Majalah Hai...

Ya, hal seperti ini mengingatkan saya pada beberapa kawan yang memulai karir menulisnya dari majalah yang sama. Rutinitas Lupus ke kantor redaksi, rapat, memberikan ide, ditugaskan meliput hingga mengambil jatah honor mungkin adalah hal-hal yang lumrah dijalani oleh anak-anaka sekolah yang "ditampung" oleh media itu.

hmmm....
buat yang belum kenal lupus mari kita kenalan dulu...

Lupus adalah tokoh fiksi dalam serial novel berjudul sama karangan Hilman Hariwijaya. Pertama kali diterbitkan tahun 1986dengan cerita " Tangkaplah Daku Kau Kujitak" Walaupun judulnya adalah plesetan dari film Kejarlah Daku Kau Kutangkap, ceritanya tak berhubungan.

Ia memiliki seorang adik bernama Lulu dan mereka berdua kini tinggal bersama sang Mami yang bernama Anita. Sedangkan sang Papi yang bernama Mulyadi, telah meninggal saat Lupus kelas 1 SMA. Beberapa kisah dari novel-novel Lupus juga telah diangkat ke dalam bentuk film dan sinetron. Selain itu juga telah terbit berbagai variasi dari cerita Lupus seperti Lupus Kecil, Lupus Milenia dan lain-lain.

Terdapat pula sederetan gadis yang pernah menjadi kekasihnya. Seperti Poppy, Rina, Happy, sampai yang terbaru adalah Nessa.

Lupus identik sekali dengan permen karet yang tak pernah lepas darinya. Model rambut berjambul yang sering dihina Lulu dengan sebutan sarang Burung. Juga sifatnya yang konyol, hingga membuatnya disukai oleh seluruh teman-temannya

Hmmm.. lepas dari itu saya terenggun dengan kesantunan cerita yang ada didalam serial ini. Entah ini hanya "karangan" Hilman, sang penciptanya saja atau memang seperti itulah kondisi saat itu. Bukan hanya masalah konten cerita namun juga mengenai tata bahasa yang berkembang saat itu.

Sapaan, celaan, makian hingga umpatan yang ada bagi saya cukup menarik karena ada beberapa yang berbeda dengan keadaan sekarang. Misalnya penggunaan kata saya, aku, dan gue. datu kata yang merujuk pada orang pertama ini sering saya temukan dalam bentuk yang berbeda walaupun subjek dan objeknya sama tapi tentunya dengan keadaan yang berbeda.

"Dodol! Kok saya terus yang dijadikan kambing hitam?!" protes Boim
"Emang lu kambing!" Balas Lupus cuwek

Saya bukan seorang ahli bahasa tapi saya bisa melihat keanekaragaman (atau bahkan justru inkonsistensi) dalam cerita ini. Tapi satu hal yang membuat saya sangat tertarik yaitu saat sang penulis tak segan-segan menggabungkan bahasa gaul remaja saat itu dengan bahasa indonesia yang baku atau setidaknya yang baik. Sehingga timbul pertanyaan dibenak saya apakah pada waktu itu bahasa yang mereka gunakan benar-benar bahasa setengah baku?

Sebenarnya tak ada yang aneh dengan bahasa cuma bagi saya hanya sedikit menggelitik dan membayangkan kita kembali memakai bahasa seperti itu. Hmm... mungkin tata bahasa kita tidak akan se-berantakan sekarang.

Yah, apapun yang terjadi dulu dan nanti, buat saya saat-saat sekolah (apalagi SMA seperti lupus) adalah saat-saat yang paling dinamis. Walaupun gambaran yang ditampilkan Hilman dalam buku ini telah berlalu hampir 20 tahun toh hingga saat ini pun masih banyak remaja yang doyan makan peremen karet, rambut berantakan dan mau berkarya di majalah 3 huruf itu.