Sabtu, 01 Mei 2010

Tari Saman : Antara Syair, Tari dan Pujian

Tarian saman yang dibawakan penari perempuan dari SMAN 29 Jakarta dalam sebuah acara yang diselanggarakan sekolah mereka (20/4)

itu bahasa mana ya?"

Itu lah pertanyaan yang terlontar dari mulut seorang MC yang memandu sebuah acara yang saya liput hari ini. Ya, pertanyaan itu benar-benar menggelitik untuk saya karena pertanyaan itu mengacu pada sebuah lirik lagu yang mengiringi tarian daerah.

Saman, itulah tarian yang dimaksud. Entah apakah tarian itu kurang terkenal atau memang si pelontar pertanyaan yang kurang paham jenis bahasa, lagu dan tarian yang ada didepannya sehingga sang MC melontarkan pertanyaan yang bagi saya terdengar (maaf) bodoh.

Bukan maksud saya menggurui atau merasa sayalah orang yang nasionalis karena bisa menjawab pertanyaan (aneh) sang MC tadi tapi bagi saya sesungguhnya pertanyaan itu tak perlu terucap apalagi setelah ia menyebutkan nama tarian

Hmmm, mungkin memang tarian ini yang "kurang familiar" maka sedikit saya akan menceritakan tentang tarian rakyat Aceh ini yang telah banyak diangkat mejadi ektrakurikuler (yang cukup favorit) di beberapa sekolah di Jakarta bahkan di Indonesia.

Tarian ini berasal dari dataran tinggi Gayo yang terletak di Aceh Tenggara. Nama tarian ini diambil dari nama sang penciptanya yaitu Syech Saman adalah seorang pemimpin agama Muslim di Aceh pada sekitar abad ke-14.

Awalnya, tarian ini hanyalah berupa permainan rakyat yang dinamakan Pok Ane. Namun, kemudian ditambahkan iringan syair-syair yang berisi puji-pujian kepada Allah SWT, serta diiringi pula oleh kombinasi tepukan-tepukan para penari. Saat itu, tari saman menjadi salah satu media dakwah. (acehdalamsejarah)

Tari Saman biasanya ditampilkan tidak menggunakan iringan alat musik, akan tetapi menggunakan suara dari para penari dan tepuk tangan mereka yang biasanya dikombinasikan dengan memukul dada dan pangkal paha mereka sebagai sinkronisasi dan menghempaskan badan ke berbagai arah. Tarian ini dipandu oleh seorang pemimpin yang lazimnya disebut Syech. (wikipedia)

Nah, dahulu tarian ini dibawakan oleh kaum lelaki tapi pada perkembangannya sekarang ini justru kaum hawa lah yang lebih sering terlihat menarikan tarian seribu tangan ini. Selain itu sekarang ini tarian ini juga telah diiringi oleh sebuah alat muik semacam rebana yang (biasanya) dimainkan oleh seseorang yang juga menyayikan syair puji-pujian tentang dakwah (agama), keaguangan, aceh dan ucapan-ucapan selamat lainnya.

Ini penggalan (part 1/ pembuka) lagu tari saman yang saya dapatkan dari salah satu website. dari penelusuran saya tentang lirik lagu ini terdapat beberapa versi namun kira-kira seperti ini lah bentuk bahasa yang digunakan hehehe.

Penari :
Salamualaikum kamoe ucapkan
Para undangan yang baro teuka…karena saleum nabi kheun sunnah
Jaroe ta mumat tanda mulia.. 3x

Sheikh:
Mulia wareh ranup lampuan
Mulia rakan mameh suara…ranup kuneng on kamo ba reujang
Kamo ba reujang wahai cendana
Ya, memang cerita diatas tentunya kurang menjelaskan mengenai tarian yang harus dibawakan secara beramai-ramai ini tapi setidaknya semoga cerita saya ini akan sedikit memberikan keterangan bila ada tertanyaan-pertanyaan sejenis atau sekedar memperkenalkan tarian ini.

"Gerakan yang berirama dan seirama akan menciptakan tarian indah yang kosong tanpa ada sentuhan jiwa didalamnya"
-Yhusanti-

(Tulisan ini pernah saya muat di "wadah" saya sebelumnya yang sudah saya enyahkan dari peredaran)

Sepi di Tengah Jeritan

Sebuah band beraksi di depan para penggemar yang mjenikmati mereka di Bazzar SMAN 20 Bandung

ditengah keramaian aku masih terasa sepi.....
-saya lupa judul lagu dan penyayinya-

Ya, setidaknya itu lah penggalan lagu yang dapat mewakili saya sore kemarin. Kalimat yang selalu muncul untuk orang-orang yang teralienisasi. Tidak, saya tidak teralienisasi hanya merasa canggung ditengah jeritan-jeritan histeris para remaja.

Hmmm rasanya ada satu lagu lagi yang dapat menggambarkannya. Kalau tidak salah soundtrack-nya Ali Topan ya? Benar tidak?

Hehehe sudah lah. Tapi memang itu yang saya rasakan. Tampak kocak bila saya kini melihat para remaja berteriak di depan panggung saat artis atau bintang pujaan mereka disana. Hmm sedangkan saya? Tentunya melaksanakan tugas.

Hhhh ingin rasanya saya kembali seperti mereka dapat dengan bebas meluapkan ekspresi. Sayangnya, saya dulu tak punya cukup waktu untuk itu.

Dan sekarang... Saya seperti menginginkan kembali masa-masa itu. Terkesan kesan konyol memang tapi itulah yang saya rasakan. Saya ingin menikmati para bintang, musisi dan sebagainya di atas panggung layaknya para remaja itu. Ya, bersenang-senang.

Hmmm... Kini saya lebih sering merasa semua datar, semua karena tuntutan tugas. Padahal terkadang saya memaksa datang dengan harapan saya akan mendapat hiburan. Tapi... Yah, lagi-lagi tak dapat menikmatinya.

Entak kapan lagi saya bisa menikmati bintang di atas panggung? hmmm... selama memang niatan saya kesana adalah bekerja tampaknya tak akan terkalsana...

Ya kalau begitu tampaknya saya memang harus datang tanpa embel-embel "media". Tapi adakah kawan yang akan menemani saya???